Kasepuhan Cipta Gelar (Part 3)



Sistem penggunaan lahan

Klasifikasi tutupan lahan di Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi berdasarkan data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa Sirnaresmi tahun 2008 terdiri atas: leuweung (hutan alam), kintir (hutan tanaman), huma (ladang), jami (bekas huma yang ditinggalkan kurang dari setahun; umumnya berupa jukut (rumput), reuma (bekas huma yang ditinggalkan lebih dari setahun; umumnya berupa semak belukar), sawah darat (tadah hujan), talun, kebun cengkeh, kebun semusim (umbi-sayur-buah), tegalan (legal awi atau legal jukut), sampalan (tempat penggembalaan kerbau), leuweung sirah cai (hutan lindung khusus mata air), balong (kolam ikan) dan lembur (pemukiman).
Menurut Kasepuhan Ciptagelar, hutan adalah kehidupan mereka. Kondisi geografis yang berupa pengunungan harus dijaga dan dilestarikan untuk keselamatan anak cucu. Oleh karena itu, leluhur mewariskan sistem tata kelola hutan kepada incu putu Ciptagelar. Ada tiga kategori hutan dalam bahasa setempat yaitu;
1.     Leuweng Titipan (sekitar 60 %), yaitu hutan yang dijaga dan dilindungi. Wilayah hutan ini tidak boleh dimasuki dan atau tidak boleh mengambil apapun sumberdaya alam yang ada di dalamnya tanpa ijin terlebih dahulu dari ketua adat (Kolot / Abah). Leuweng Titipan dijaga dan dilindungi untuk keberlanjutan hidup warga Kasepuhan. Selain melindungi mata air untuk pertanian, daerah hutan ini biasanya juga di sakralkan.
2.    Leuweng Tutupan (sekitar 20 %), yaitu hutan yang berfungsi sebagai sistem penyangga dan juga untuk melindungi perkampungan. Warga hanya boleh mengambil hasil hutan non-kayu di daerah ini.
3.    Leuweng Bukaan atau Garapan (sekitar 20 %), yaitu hutan yang dibuka dan digunakan untuk pertanian (sawah ataupun ladang), Agroforestry, Perumahan, jalan, masjid, dan kebutuhan ekonomi lainnya .
Berdasarkan Pemetaan Partisipatif yang dilakukan RMI (Rimbawan Muda Indonesia) tahun 2001, tata guna lahan di Desa Sirnaresmi dibagi menjadi hutan alam, hutan ulayat, kebun/talun/huma, makam, sawah dan pemukiman.

Hutan alam adalah hutan milik negara yang tidak diakui kepemilikannya oleh masyarakat adat. Secara fisik hutan alam ini merupakan hutan yang masih utuh dan belum digarap oleh masyarakat adat. Hutan ulayat merupakan hutan yang menurut sejarah adat diakui milik masyarakat adat. Hutan ulayat ini dalam pengelolaannya dibagi menjadi leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung sampalan.
Menurut Hanafi et al (2003), yang dimaksud dengan leuweung kolot/awisan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat diganggu dengan untuk kepentingan apapun. Ada kepercayaan bahwa leuweung ini dijaga oleh hal yang tidak tampak oleh mata, siapa yang melanggarnya pasti akan tertimpa kemalangan (kabendon), sehingga leuweung kolot/awisan ini tidak dapat dialihfungsikan menjadi leuweung titipan atau pun leuweung sampalan. Leuweung titipan adalah suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur kepada para incu putu untuk menjaga/tidak mengganggu kawasan hutan ini.
Masyarakat percaya apabila ada yang memasuki kawasan ini tanpa seizing sesepuh girang maka akan mendapat kabendon dari karuhun. Sedangkan yang dimaksud leuweung sampalan adalah suatu kawasan hutan yang sekarang telah terbuka dan dapat digarap oleh mayarakat dan masih dikelola untuk dijadikan sawah, huma dan kebun sehingga leuweung sampalan ini akan menambah luasnya ruang pertanian. Di dalam kawasan hutan, terdapat vegetasi dan satwa khas Gunung Halimun. Vegetasi yang mendominasi di antaranya Rasamala dan Saninten (Castanopsis argentea). Sedangkan satwa yang mendominasi di antaranya Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Surili (Presbytis comata). Makam terletak di topografi atas. Hal ini merupakan salah satu bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap para leluhur mereka yang telah meninggal. Bagi masyarakat adat Kampung Ciptagelar sendiri, makam merupakan elemen yang berfungsi sebagai tempat berdoa kepada arwah leluhur dan juga sebagai tempat dalam melakukan proses carita sebelum melakukan aktivitas ritual yang berhubungan dengan pertanian.
Huma atau ladang lebih dikenal dengan sebutan reuma oleh masyarakat adat Kampung Ciptagelar. Dalam pengelolaan secara adat, reuma dibagi menjadi tiga, yaitu :
-          Reuma ngora merupakan lahan bekas garapan masyarakat yang kemudian ditinggalkan selama kurang lebih dua hingga tiga tahun kemudian lahan tersebut dapat dibuka kembali untuk dijadikan lahan garapan.
-          Reuma kolot adalah lahan yang merupakan bekas garapan masyarakat yang kemudian ditinggalkan masyarakat lebih dari tiga tahun. Sedangkan yang dimaksud dengan
-          Reuma sampalan yaitu lahan yang merupakan bekas garapan kemudian oleh masyarakat dimanfaatkan untuk mengembalakan kerbau.
Kebun merupakan lahan bekas ladang yang ada di sekitar pemukiman dan ditanami berbagai jenis tanaman sayuran, obat-obatan dan buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan talun merupakan kebun yang letaknya jauh dari rumah yang pemeliharaannya tidak terlalu intensif dibandingkan kebun. Kebun di masyarakat Ksepuhan disebut pula dengan Talun seperti pada gambar berikut,
Tetap Eksis fto yg satu ini,...hihihiii :D



Hihihiii,..tetap eksis ftu2,.. :D
 


Post a Comment

0 Comments